Ahli Pidana Sebut Pembayaran Restitusi Terdakwa Terhadap Korban Tidak Bisa Dibebankan ke Orang Lain

Saksi ahli pidana dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian menyebut bahwa restitusi yang dibebankan kepada pelaku pidana tidak bisa dibebankan kepada pihak lain. Adapun hal itu diungkapkan Sofian pada saat memberi keterangan dalam sidang lanjutan kasus penganiayaan dengan terdakwa Mario Dandy dan Shane Lukas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/7/2023). Dalam perspektif hukum pidana, Sofian menjelaskan, bahwa pembayaran restitusi atau ganti rugi oleh terdakwa terhadap korban tidak bisa dibebankan kepada orang lain termasuk orang tua.

"Doktrin hukum pidana kita, yang berbuat dialah yang bertanggung jawab. Tidak bisa diatur kepada orang tua atau segala macam, kecuali anak anak," jelasnya. Terlebih lanjut Sofian, hal itu menjadi wajib dibayarkan oleh terdakwa apabila usia yang bersangkutan sudah menginjak tahap dewasa. "Tetapi kalau orang dewasa, dia bertanggung jawab. Asetnya ya aset yang bersangkutan, tidak bisa dibebankan kepada orang tua," ungkapnya.

Ahli Pidana Tegaskan Jika Restitusi Tidak Dibayarkan Akan Diganti dengan Kurungan Skor Sementara Red Sparks vs Suwon Hyundai Live Sekarang Comeback Manis Megawati Cs Ahli Pidana Sebut Hukuman Mario Dandy Bisa Ditambah 8 Bulan Penjara Jika Tak Bayar Restitusi

Ahli Pidana Sebut Subsider Restitusi Paling Lama 8 Bulan, Kuasa Hukum David Respons: Bisa Tinggi Kunci Jawaban IPA Kelas 8 SMP/MTs Halaman 145 Kurikulum Merdeka, Aktivitas 5.3 Soal Unsur Halaman all Banjarmasinpost.co.id Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 10 Halaman 101 102 Kurikulum Merdeka Halaman 3

Kemudian selain itu, kewajiban pembayaran restitusi itu dijelaskan Sofian bisa digantikan dengan hukum kurungan apabila tidak terdapat aset ataupun harta yang bisa dibayarkan oleh terdakwa. Namun menurut Sofian, pergantian restitusi dengan hukuman kurungan di lain sisi sebagai bentuk kemudahan jaksa agar bisa cepat melakukan eksekusi terhadap terdakwa. "Dibandingkan harus bersusah payah melakukan perampasan aset, melelang asetnya, menjual asetnya lalu dijual kemudian dibagi kepada korban, itu proses hukumnya panjang," jelasnya.

"Jika terdakwa tidak memiliki aset yang bisa dirampas secara objektif tidak ada, jadi kalau mau dipaksakan tidak bisa juga ganti ruginya, akhirnya diganti dengan kurungan," pungkasnya. Terkait restitusi ini pada sidang sebelumnya,Ketua Tim Penghitung RestitusiLembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdanev Jova hadir memberi kesaksiannya dalam sidang kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (20/6/2023). Dalam kesaksiannya Jova mengatakan bahwa belum ada aturan yang mengatur apabila seorang terdakwa menolak atau menyatakan tidak mampu membayar biaya restitusi kepada korban.

Adapun hal itu bermula pada saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya kepada Jova bagaimana mekanisme hukum apabila terdakwa Mario Dandy Cs tak bisa membayar restitusi. "Katakanlah ketiga terdakwa menolak membayar restitusi atau menyatakan tiba tiba tidak mampu untuk membayar. Mekanisme seperti apa untuk menindaklanjuti ketidakmampuan itu?," tanya Jaksa. Jova mulanya menjelaskan, bahwa belum ada peraturan yang memaksa kepada seseorang terdakwa jika di kemudian hari tidak bisa membayar restitusi.

"Pada prakteknya yang sering dilakukan adalah membebankan pidana subsider, pada prakteknya," jawab Jova kepada Jaksa. Jaksa pun kembali bertanya kepada Jova, apakah dalam hal ini terdapat pidana pengganti apabila nantinya Mario Dandy Cs benar benar tidak mampu membayar resitusi tersebut. Kemudian Jova menuturkan, bahwa berdasarkan kasus pidana penganiayaan yang saat ini menjerat Mario Dandy Cs belum diatur mengenai pengganti pidana pengganti apabila tak dapat membayar restitusi.

"Untuk tindak pidana ini apakah ada pidana pengganti restitusi?," tanya Jaksa. "Dalam konteks peraturan ini tidak ada," saut Jova. "Artinya kalau memang mereka tidak bisa (bayar) bagaimana cara hukum menjangkaunya? Menghukum mereka seperti apa?," tanya Jaksa.

Jova pun menjawab bahwa jika berdasarkan UU tentang tindak pidana penganiayaan memang belum ada aturan yang mengatur hal tersebut. Namun dirinya mengatakan, dalam prakteknya saat ini LPSK kata Jova telah berkirim surat kepada Mahkamah Agung guna mendiskusikan hal tersebut. "Yang kedua beramgkat dalam praktek, ada beberapa hal yang juga pernah dipraktekan misalnya membebankan pihak pihak lain untuk ikut membayar," ucap Jova.

"Ada kasus yang melalukan kekerasan fisik juga terhadap anak, kemudian ada juga membebankan kepada pemerintah yang lain untuk membayar restitusi," tambahnya. Perihal biaya restitusi ini sebelumnyaLPSK telah membeberkan bahwa total restitusi yang diajukan terkait kasus penganiayaan David Ozora mencapai ratusan miliar rupiah. "Totalpenghitungankewajaran LPSK Rp 120.388.911.030,"ujarJova.

Total Rp 120 miliar itu terdiri dari tiga komponen, yakni:ganti rugi atas kehilangan kekayaan,pergantian biaya perawatan medis atau psikologis, serta penderitaan. Di antara tiga komponen tersebut, penderitaan memperoleh nilai tertinggi, yaitu Rp 118 miliar. "Terkait penderitaan 50 miliar (yang diajukan keluarga korban), tim menilai bukti kewajaran 118 miliar 104 juta sekian," ujar Jova.

Kemudian komponen ganti rugi atas kehilangan kekayaan yang dimohonkan Rp 40 juta, tim LPSK memberikan nilai kewajaran Rp 18.162.000. Adapun komponen pergantian biaya perawatan medis atau psikologis dari Rp 1.315.545.000, tim menilainya menjadi Rp 1.315.660.000. Komponen penderitaan memiliki nilai terbanyak karena kondisi David yang menderita difuse axonal injury yang tidak menyebabkan cacat permanen. Berdasarkan proyeksi penghitungan rumah sakit nilai perawatan yanh diperlukan selama setahun mencapai Rp 2,18 miliar.

Kemudian mengingat hanya 10 persen yang sembuh, tim kemudian menghitung perkiraan jangka waktu. "Merujuk dari umur, ini data BPS Provinsi DKI Jakarta, rata rata hidup itu 71 tahun. Kemudian 71 tahun ini dikurangi dengan umur korban 17 tahun. Artinya ada proyeksi selama 54 tahun korban ini menderita," katanya. Dari 54 tahun itu, kemudian tim LPSK mengalikan dengan Rp 2,18 miliar yang diperoleh dari Rumah Sakit Mayapada, tempat David dirawat.

"Dan hasilnya adalah 118.104.480.000 rupiah," ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *